Cukupkah Untuk Hidup Layak?

oleh -98 Dilihat
oleh

Badan Pusat Statistik tanggal 15 Januari 2025 melaporkan angka kemiskinan Indonesia pada September 2024 menurun menjadi 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta orang.

Angka ini turun 0,46 persen poin dibandingkan Maret 2024 dan menurun 0,79 persen poin dibandingkan September 2023.

Meskipun ada penurunan dalam jumlah dan persentase penduduk miskin, tantangan besar terkait kebutuhan hidup tetap dihadapi oleh sebagian besar masyarakat.

Pada September 2024, garis kemiskinan per kapita di Indonesia tercatat sebesar Rp595.242 per bulan. Komposisinya, Rp443.433 atau 74,5 persen digunakan untuk kebutuhan pangan, sementara sisanya Rp151.809 atau 25,5 persen untuk kebutuhan non-pangan.

Jika diperkirakan untuk sebuah rumah tangga dengan rata-rata 4,71 orang, maka garis kemiskinan per rumah tangga adalah Rp2.803.590 per bulan.

Angka kemiskinan di perkotaan pada September 2024 tercatat 6,66 persen, lebih rendah dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 7,09 persen. Sementara itu, angka kemiskinan di perdesaan tercatat 11,34 persen, juga mengalami penurunan dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 11,79 persen.

Kendati penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan, kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan tetap ada.

Dibandingkan Maret 2024, jumlah penduduk miskin di perkotaan menurun sebanyak 0,59 juta orang, sementara di perdesaan turun sebanyak 0,57 juta orang.

Namun, meskipun jumlah orang miskin berkurang, tantangan utama tetap berada pada kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup dengan anggaran terbatas, apalagi dengan inflasi harga bahan pokok yang terus meningkat.

Garis kemiskinan yang terbilang rendah ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah angka Rp595.242 cukup untuk hidup layak di Indonesia?

Dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, banyak yang merasa anggaran tersebut hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Sebagai upaya untuk lebih mengurangi angka kemiskinan, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih efektif dan merata, terutama di daerah-daerah perdesaan yang masih memiliki angka kemiskinan tinggi. (*)

Penulis: Ahmad Yusuf
Toboali, 17 Januari 2025