Rambutnya nampak mulai memutih, pertanda usianya sudah tidak muda lagi.
Tubuh sedangnya padat berotot, namun kulitnya nampak menghitam dengan bulu-bulu lebat di tangannya.
“Maju dikit lagi Pak, agak mepet ke kanan,” ujar Sam (62).
Sam adalah salah satu juru parkir di depan Basement Ramayana Kota Pangkalpinang, Jumat (15/11) pagi.
Baru saja meletakkan pantatnya hendak duduk, sudah ada lagi kendaraan lain yang mau parkir.
Pria paruh baya itu sigap membantu, tak jarang ia membetulkan posisi motor pengunjung yang parkirnya asal-asalan.
Begitu juga ketika motor yang hendak ke luar parkir, ia pun dengan sigap membantu, hingga mengamankan posisi jalan agar tidak terjadi kecelakaan.
Meski usianya sudah lebih setengah abad, Sam tidak pernah mengeluh.
Ia selalu bersyukur dengan rezeki yang diperoleh, meski harus berjibaku dengan teriknya panas matahari atau basah kuyup kena hujan.
Semangat kerjanya tidak menurun, walaupun pemasukannya semakin jauh berkurang.
“Kadang ada juga yang ngasih lebih, ada juga yang tidak bayar,” ujarnya.
Sudah tidak mau bayar, kadang kala ada pemilik kendaraan yang malah marah-marah.
“Begitulah suka duka juru parkir. Terima dan syukuri saja,” katanya sembari tersenyum kecut.
Sebelum Mall Ramayana dibangun, Sam sudah menjadi tukang parkir di beberapa lokasi ruko di Pangkalpinang.
“Saya jadi tukang parkir itu jauh sebelum Ramayana ini ada. Saya tidak ingat pastinya mulai tahun berapa? Tapi di Ramayana sini saja sudah belasan tahun. Sudah lebih 30 tahun saya jadi tukang parkir,” bebernya.
Menurutnya, kondisi ekonomi Bangka Belitung khususnya di Kota Pangkalpinang sedang tidak baik-baik saja.
“Kami tukang parkir ini cukup paham menilai kondisi ekonomi. Kalau ekonomi sedang bagus, banyak orang datang berbelanja. Pendapatan bersih saya parkir bisa lebih 300 ribu sehari,” katanya.
“Kalau sekarang yang belanja ke Ramayana ini jauh berkurang, kamu nyari 100 ribu pun agak berat,” tuturnya.
Sam mengaku rutin menyetor biaya retribusi parkir ke Dinas Perhubungan Kota Pangkalpinang, satu kapling lahan parkir wajib setor Rp30.000 setiap hari.
“Saya kelola beberapa lahan parkir yang ditinggalkan kawan karena sepi pengunjung, satu kapling lahan parkir itu kami setor Rp30.000 ke Dinas Perhubungan,” terangnya.
Puluhan Tahun Tidak Bertemu
Ada sesuatu perasaan yang berbeda ketika melihat bentuk tubuh dan raut wajah Sam, penulis merasa sangat familiar.
Penulis pun menanyakan asal usul dan latar belakang keluarganya.
Almarhumah ibunya Sam berasal dari Toboali, sekarang Ibukota Kabupaten Bangka Selatan.
Almarhum bapaknya berasal Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka.
Yang mengejutkan ketika Sam menyebutkan nama dan juga garis keturunan dari almarhum bapak dan kakeknya.
Ternyata penulis dan Sam adalah saudara sepupu dari satu kakek, namun berbeda nenek.
Bapaknya Sam adalah anak kakek dari istrinya yang pertama. Sedangkan bapak penulis anak kakek dari istri yang terakhir.
Penulis terakhir kali bertemu dengan Sam sebelum bulan Ramadan 1407 Hijriyah atau bulan April 1987, ketika kakek meninggal di rumah orang tua penulis di Kampung Lubuk Besar, yang waktu itu masih wilayah Desa Batu Beriga, Kecamatan Koba.
Waktu almarhum kakek meninggal dunia penulis baru berumur sekitar 10 tahun dan masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Negeri Nomor 294 Lubuk Besar Desa Batu Beriga sekarang SD Negeri 02 Lubuk Besar).
Puluhan tahun, tepatnya 37 tahun 6 bulan tidak bertemu. Sam dan keluarga tinggal di Lontong Pancur Kota Pangkalpinang.
“Tak disangka kita bertemu hari ini, sekian puluh tahun kita tidak bertemu,” ujar Sam terisak sembari kami berjabat tangan dan berpelukan melepas rindu.
“Ini saudaraku, ini adikku, kami satu kakek beda nenek. Puluhan tahun tidak bertemu, tidak sengaja bertemu hari ini,” Sam berteriak memberitahu teman-temannya sesama juru parkir.
Tak lama kami berbincang, karena sudah memasuki waktunya sholat Jumat.
“Insyaa Allah nanti kita bertemu lagi. Semoga badan sehat dan umur panjang,” tukasnya. (*)
Penulis: Romlan