HEADLINEOPINI

Mengulik Regulasi Kewajiban Kebun Plasma

×

Mengulik Regulasi Kewajiban Kebun Plasma

Sebarkan artikel ini
Penulis: Romlan (Pemimpin Redaksi)

Permintaan pembangunan kebun plasma minimal seluas 20% dari masyarakat 8 desa di Kecamatan Pemali dan Kecamatan Bakam, Kabupaten Bangka kepada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Gunung Maras Lestari cukup menarik untuk dibahas.

Kekinian, permintaan pembangunan kebun plasma itu berubah menjadi tuntutan ganti rugi dengan jumlah uang yang nominalnya cukup fantastis.

Pada industri perkebunan ada 3 objek yang berbeda, yaitu izin lokasi yang biasa dikenal dengan nama izin prinsif, izin usaha perkebunan atau IUP dan hak guna usaha atau yang kemudian disingkat HGU.

Izin lokasi perkebunan kelapa sawit adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan untuk kegiatan perkebunannya. Izin ini berlaku untuk pemindahan hak dan penggunaan tanah untuk keperluan perkebunan.

Jangka waktu izin lokasi perkebunan sawit tergantung pada luas lahannya. Izin lokasi untuk lahan seluas sampai 25 hektar berlaku selama satu tahun, sedangkan untuk lahan seluas lebih dari 25 hektar hingga 50 hektar berlaku selama dua tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 1 kali untuk waktu 1 tahun.

zin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

IUP, IUP-B, IUP-P dan STDU-BP berlaku selama perusahaan masih melakukan pengelolaan perkebunan secara komersial yang sesuai standar Teknis dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan dan wajib melakukan pendaftaran ulang tiap 3 tahun sekali.

Hak Guna Usaha atau HGU perkebunan kelapa sawit adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk mengolah tanah yang dikuasai negara. HGU merupakan salah satu izin yang harus dimiliki oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

HGU diberikan untuk jangka waktu tertentu, yaitu paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

Untuk mendapatkan HGU, pelaku usaha harus mengajukan permohonan ke kantor pertanahan. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Luasan HGU belum tentu sama luasnya dengan izin lokasi.

Jika IUP, IUP-B, IUP-P dan STDU-BP diberikan oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri sesuai kewenangannya, maka HGU perusahaan perkebunan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Pemberian sanksi pencabutan IUP tidak serta merta HGU perusahaan perkebunan dinyatakan tidak berlaku. Pun demikian sebaliknya, pencabutan HGU tidak membatalkan IUP. Kecuali yang dicabut adalah izin lingkungannya, maka semua kegiatan perusahaan otomatis harus dihentikan sejak pencabutan itu.

Salah satu regulasi yang memberikan angin segar bagi masyarakat yang berada sekitar wilayah perkebunan kelapa sawit, baik yang diusahakan swasta maupun perusahaan BUMN adalah regulasi tentang kewajiban sebuah perusahaan untuk melakukan kerja sama dengan masyarakat sekitar perkebunan.

Beleid itu terangkum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007 yang diperbaharui menjadi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 tahun 2013. Permentan itu menekankan, sejak bulan Februari 2007 apabila terjadi pembangunan perkebunan kelapa sawit, perusahaan inti wajib untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat di sekitarnya.

Areal lahan diperoleh dari 20% ijin lokasi perusahaan atau membangun kebun dari lahan masyarakat yang ada disekitarnya. Hal yang serupa juga bahkan muncul kembali di Peraturan Pemerintah pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada dasarnya tujuan dari regulasi ini tentunya adalah agar masyarakat disekitar wilayah perkebunan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Namun akibat kurang jelasnya regulasi tersebut, menimbulkan banyak permasalahan di lapangan.

Penafsiran berbeda terhadap peraturan perundangan-undangan, ketidakjelasan kapan pembangunan kebun plasma yang 20% diwajibkan, bagaimana pola kemitraan yang tepat dan lain sebagainya. Hal ini yang akhirnya dapat memicu konflik antara masyarakat sekitar dengan pihak perusahaan perkebunan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tidak mengatur secara lugas tentang kewajiban Perusahaan Perkebunan membangun kebun plasma untuk masyarakat yang berada di sekitar wilayah IUP.

Tetapi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 11 ayat (1) menyatakan, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat itu dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

Pembangunan kebun masyarakat itu kembali ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 15 ayat (1), bahwa Perusahaan Perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 hektar atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% dari luas areal IUP-B atau IUP.

Syarat sebagai peserta kemitraan yaitu masyarakat yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan dan berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang-undangan, harus bertempat tinggal di sekitar lokasi IUP-B atau IUP dan sanggup melakukan pengelolaan kebun.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Pasal 58 ayat (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

Lalu Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian menegaskan, Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari area penggunaan lain yang berada di luar HGU dan atau area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O% dari luas lahan tersebut.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dilaksanakan paling lambat 3 tahun sejak lahan untuk Usaha Perkebunan diberikan HGU. Fasilitasi pembangunan kebun diberikan kepada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas Perkebunan. Kelembagaan sebagaimana dimaksud berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, lembaga ekonomi petani dan atau koperasi.

Sebelumnya, pola kemitraan antara pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan.

Peraturan itu menjelaskan dalam pola inti plasma, usaha besar dan atau usaha menengah sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya dalam penyediaan dan penyiapan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan, pembiayaan dan pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan tidak mengubah atau mencabut kewajiban Perusahaan Perkebunan membangun kebun plasma untuk masyarakat sekitar.

Secara tegas dan detail pengaturan kewajiban pembangunan kebun masyarakat sekitar oleh Perusahaan Perkebunan diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 kewajiban kemitraan antara pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar itu sudah ada. Dan sejak berlakunya Permentan Nomor 26 Tahun 2007 yang disahkan bulan Februari 2007, Perusahaan Perkebunan sudah punya kewajiban membangun kebun plasma untuk masyarakat sekitar yang diambil dari lahan milik perusahaan sesuai perizinannya, seiring dengan pembangunan kebun perusahaan.

Meskipun Permentan Nomor 98 Tahun 2013 mengatur kebun masyarakat berada di luar IUP-B atau IUP, namun perusahan perkebunan yang telah memiliki izin sebelum adanya aturan itu tetap wajib mematuhi ketentuan yang diatur dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007. Jadi, jangan berdalih sudah ada aturan baru, penuhi dulu kewajiban ketika aturan lama masih berlaku.

Kelemahan dan ketidakjelasan regulasi terkait pembangunan kebun untuk masyarakat yang lebih familiar disebut Kebun Plasma, diduga dimanfaatkan oleh Perusahaan Perkebunan sengaja untuk tidak melaksanakan kewajibannya membangun kebun plasma untuk masyarakat sekitar.

Berlakunya aturan baru yang mengubah dan atau mencabut aturan lama, menjadi celah paling rentan untuk dimanfaatkan. Di mana pihak Perusahaan Perkebunan dapat berdalih bahwa aturannya sudah berubah dan mereka tunduk kepada aturan yang berlaku sekarang.

Apabila tidak segera ditangani dan dituntaskan dengan baik, akan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum atau gangguan Kamtibmas seperti unjuk rasa berjilid-jilid dari masyarakat yang menuntut hak pembangunan kebun plasma. Tidak menutup kemungkinan akan tejadinya peristiwa pidana seperti demonstrasi yang anarkis, juga pencurian asset atau barang milik perusahaan.

Pihak perusahaan perkebunan sebaiknnya mematuhi aturan yang berlaku, baik aturan ketika perusahaan diberikan izin maupun aturan yang berlaku kemudian. Karena ada sanksi pencabutan izin usaha perkebunan yang diatur dalam setiap peraturan perundang-undangan tentang perkebunan dan pertanian.

Masyarakat di sekitar wilayah izin perusahan perkebunan juga sebaiknya tidak bertindak sembrono. Jika kurang paham aturan, mintalah pendampingan kepada lembaga bantuan hukum atau orang yang paham hukum. Jangan bertindak anarkis, apalagi sampai merusak atau mengambil aset milik perusahaan perkebunan, karena ada sanksi hukum yang pastinya setiap orang enggan menghadapinya. (*)

Catatan Shubuh
Sungailiat, 24 Januari 2024