BANGKA BARAT — Jauh sebelum program Restorative Justice dicanangkan sekarang ini, Kepala Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, Daroe Tri Sadono sudah membantu pelaku tindak pidana ringan di tempat ia bertugas.
Menurut Daroe, saat itu di tahun 1993, ia menangani perkara pidana pencurian kompor di Banjarmasin. Pelaku terpaksa melakukannya karena dia tidak memiliki apa pun untuk bertahan hidup.
” Dia kalau tidak salah mencuri kompor api, bukan kompor gas, sangking dia tidak punya apa – apa lagi. Akhirnya dia curi kompor tetangganya dijual lakunya berapa puluh ribu,” tutur Daroe dalam sambutannya pada acara peresmian Kampung Keadilan Restoratif, di Desa Air Belo, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Senin ( 7/3 ) pagi.
Kendati tidak dituntut ringan, namun Kejaksaan ketika itu memberikan pelayanan terbaik bagi pelaku, sehingga ia bisa langsung bebas dari jerat hukum di hari pembacaan putusaan di pengadilan.
Sang pelaku pun mendatangi rumah Daroe untuk mengucapkan terima kasih karena sudah mendapatkan pelayanan keadilan yang baik.
” Sampai di rumah saya, dia memeluk saya erat – erat, dia nangis sejadi – jadinya. Saya mengingatnya itu bahkan menceritakannya saya hampir menangis karena terharu,” ujar Kajati.
Hal seperti itu masih Daroe lakukan di tempat tugasnya yang lain, sehingga diantara orang – orang yang ia bantu ada yang mengangkatnya sebagai saudara.
Menurut Kajati, tujuan ia membagi kisahnya bukan ingin dinilai dirinya baik, tapi agar masyarakat tidak melihat Kejaksaan sebagai institusi yang menyeramkan bahkan bengis.
” Jangan lihat sosok – sosok kami saya sebagai Kajati, Kajari dan sebagainya sebagai orang – orang yang bengis, sama sekali tidak. Allah memberikan amanah kepada kami untuk memberikan pelayanan hukum kepada bapak ibu sekalian, kepada masyarakat,” cetusnya.
Daroe menegaskan, dalam menjalankan amanah tersebut, Kejaksaan harus memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan benar, harus memastikan bahwa hukum yang ditegakkan memberikan manfaat untuk masyarakat.
” Kami juga harus memastikan bahwa hukum yang kami tegakkan memberikan pelayanan keadilan bahkan untuk para pelaku itu, bukan hanya untuk para korbannya saja,” imbuh dia.
Menurut Kajati, spirit penegakan hukum bukan hanya menjebloskan orang ke dalam penjara, sebab setelah bebas pun, orang yang bersangkutan belum tentu akan berubah menjadi baik. Bahkan tidak menutup kemungkinan sang terpidana malah mendapatkan pelajaran tentang kejahatan dari pelaku kejahatan dari dalam penjara.
” Kita kemudian mengukur, kalau kemudian dia keluar insyaf alhamdulilah, artinya dia masuk ke pondok pesantren al – lapas tadi bisa berhasil. Tapi kalau keluar dari dalam tadi justru makin menggila, kan kita gagal,” tandasnya. ( SK )