TANAH BUMBU — Membaca pemberitaan yang mengangkat kisah pilu di Bumi Borneo tentang dugaan penggusuran tanah atau lahan garapan masyarakat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara di Provinsi Kalimantan Selatan, menarik perhatian kami untuk menggali lebih dalam. Kisah pilu itu mulai terjadi sejak masuknya perusahaan yang diduga milik Haji Isam, yang mendapat izin perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara.
Senin (30/5) petang, kami mulai bergerak dari Kota Banjarmasin menuju Kota Batu Licin, Ibukota Kabupaten Tanah Bumbu. Setelah menempuh perjalanan sekira 8 jam, lewat tengah malam tim liputan akhirnya tiba di sebuah penginapan di kota tersebut. Usai sarapan keesokan paginya, tim liputan mulai bergerak mencari narasumber untuk diwawancara.
Cerita Emak-emak di Warung
Mama Ana, warga Desa Gunung Besar, Kabupaten Tanah Bumbu, secara gamblang mengungkapkan fakta penderitaan masyarakat yang tanahnya digusur paksa oleh perusahaan pemegang konsesi perkebunan dan tambang batubara milik Haji Isam. Dengan dalih sudah mengantongi izin sesuai ketentuan pearturan perundang-undangan, alat berat perusahaan pemegang konsesi itu menggusur kebun dan sawah milik masyarakat sesukanya, dengan pengawalan ketat aparat keamanan setempat.
“Mulai perbatasan Tanah Bumbu ini sampai lahan sawit sana punya Haji Isam semua, sampai tambang-tambang Haji Isam semua. Tidak ada yang berani berontak, semakin melawan semakin tidak dibayar,” ungkap Mama Ana, Selasa (31/5).
Mama Ana menuturkan, salah satu korbannya adalah Mama Rapli. Kebun sawit Mama Rapli digusur alat berat perusahaan tambang batubara milik Haji Isam. Padahal cita-cita Mama Rapli sederhana saja, punya kebun sawit supaya bisa menikmati hari tua. Tapi karena kebun sawitnya diambil paksa oleh perusahaan, apa diharap lagi? Tidak ada penghasilan lagi.
“Kini hanya jadi ibu rumah tangga, kerja serabutan, karena kebun sawitnya yang hendak dipanen habis semua digusur. Jangankan lahan kebun sawit, lahan sawah masyarakat pun habis diambil, tidak bisa lagi orang menanam padi. Itu Abah Sarah bininya stroke diambil sawitnya. Biasanya dalam seminggu bisa dapat duit berapa juta tiba-tiba hilang, tidak ada ada lagi mata pencaharian. Di sini tidak ada yang kerja di perusahaan – perusahaan, kebun sendiri semua,” tuturnya.
Ketika menggusur paksa kebun dan sawah milik warga, lanjut Mama Ana, pihak perusahaan pemegang konsesi menggunakan jasa makelar dan aparat keamanan. Haji Isam tidak pernah turun sendiri. Setiap keributan hanya gara-gara lahan saja, karena tambangnya mau masuk untuk mengambil batubara.
“Kalau korban tidak ada, karena warga mengalah terus, tidak berani melawan. Menggusur itu saja polisinya banyak, kayak apa kita ngelawan? Kita tidak ada yang berani melawan. Mau digusur, digusur aja, rumah digusur diam saja, tinggal menangis saja melihat lahan digusur. Daerah Sungai Dua yang banyak digusur. Pokoknya semua kampung Sungai Dua habis tuh,” bebernya.
Mama Rapli membenarkan kisah Mama Ana. Sekira lima tahun lalu, belasan pohon sawit miliknya digusur alat berat perusahaan. Dia sudah tidak ingat diganti berapa? Sudah lupa. Namun tidak semua kebun sawitnya digusur. Ada sisa sekitar sehektare setengah, sekarang sawitnya sudah berbuah.
“Saya punya sedikit saja, keponakan saya Abah Sarah itu yang banyak. Sawit dan karet yang sudah panen cuma diganti sekitar 18 – 20 jutaan. Kalau jual sendiri bisa mencapai 50 jutaan. Memang diganti, tapi sangat tidak pantas dan tidak sesuai keinginan,” kata dia.
Abah Sarah Memilih Pasrah
Ditemui terpisah, Abah Sarah membenarkan almarhumah istrinya sempat menderita stroke sebelum meninggal dunia. Namun dia mengaku sudah menerima dengan lapang dada, mungkin memang sudah takdirnya.
“Mungkin ada juga sebab musabab dari situ, terpikir di situ. Masalah kebun itu lapang dada saja kita, cuma tidak sesuai saja pergantian orang itu. Kalau masalah lahan itu, kami dan kawan-kawan banyak yang tidak ikhlas lahan digusur oleh kroninya Haji Isam. Sebab tidak sesuai dengan pergantian yang diterima masyarakat,” ungkap Abah Sarah di kediamannya.
Menurut Abah Sarah, sumber penghasilan masyarakat sekitar umumnya dari sektor pertanian seperti kebun sawit, kebun pisang, kebun kastila, kebun sayuran, yang dalam sehari lumayan cukup untuk makan sehari-hari. Dari Kastila saja bisa dapat 300-an ribu seminggu. Sekarang lahannya sudah digusur habis tidak tersisa lagi, alasannya karena HGU. Sedangkan yang didorong itu adalah tanah kampung masyarakat, sampai kuburan para leluhur pun digusur rata.
“Umur sawitnya sekitar 6 tahunan, sekali panen satu ton lebih. Lokasinya di bawah Parlin sini, masih Desa Gunung Besar. Daerah tepi sungai Hanau bekas Kampung Bahari sudah berubah, kuburan saja berubah jadi padang sawit. Ada ratusan kubur di situ, hilang semua didorong tanpa dialihkan. Kuburan leluhur kakek nenek kita habis semua, namanya kampung, kan? Kampung pertama di Sungai Hanau itu. Orang-orang yang diambil lahan itu tidak berdaya. Katanya itu HGU, hak perusahaan yang berdasarkan hukum berdasarkan Undang-Undang. Nah, segel (surat tanah) masyarakat itu tidak ada gunanya, sia-sia,” tuturnya.
Abah sarah menyebut Haji Isam itu sebagai penguasa, semua pihak dirangkulnya. Sedangkan penggusuran lahan itu saja dia menurunkan semua aparat, baik Brimob, Kepolisian, Tentara, Polisi Militer, semuanya. Masyarakat takut melawan, tidak berani bertindak. Warga pemilik lahan dipanggil ke kantor alasannya untuk nego masalah harga, kenyataannya di lapangan lahan sudah didorong. Sia-sia saja upaya mempertahankan lahan.
“Kalau di sini bukan hanya punya kami ini saja. Mulai dari Pal 3, Pal 10 Saring itu banyaklah lahan masyarakat yang diserobot alasan HGU. Karena dia berkuasa, dia punya uang, semua aparat dirangkulnya. Kalau upaya ibaratnya sia-sia. Laporan ke Badan Pertanahan sia-sia, laporan ke kepolisian sia-sia, tidak ada tindak lanjutnya. Sebab sudah dirangkul dia semua, berkait semua. Jadi masyarakat itu tidak ada apa-apanya di sini,” keluhnya.
Penggusuran lahan masyarakat itu mulai tahun 2010 – 2017. Lahan masyarakat diganti sangat tidak sesuai, hanya 2,5 juta per hektare. Selain tanah kebun ada juga yang tanah kosong. Untuk sawit yang sudah panen diganti Rp 50 ribu per pohon. Kebun Abah Sarah yang digusur sekitar 5 hektaran. Tapi kalau diakumulasikan dengan kebun warga lainnya di wilayah itu, luasnya sekitar 100-an hektare.
“Terpaksa kita relakan jual semua, tidak ada daya upaya, tertindas semuanya. Kalau preman tidak ada, cuma calo-calonya itu ada. Harga satu hektarenya dibayar Rp 2.500.000, satu meternya diharga Rp 250 rupiah. Tidak pantaslah itu, tidak sampai seribu rupiah. Alasannya peraturan perusahaan, itu pun negonya bukan main. Ada kawan kita yang tidak mau ambil duitnya, karena saking kecewanya, sakit hati mendalam,” kata Abah Sarah mengenang kisa pilu di masa lalu.
“Memang tidak ada beritanya. Terus terang kayak kalian memberitakan, nanti hati-hati. Ini berita Antara memberitakan diculik, Metro diculik, terus terang kita, ditutupi semua. Aparatnya bermain juga, kita terus terang saja,” imbuhnya mengingatkan.
Bukan Ganti Untung
Berbeda dengan kisah Mama Ana, Mama Rapli dan Abah Sarah, Abah Yan warga Desa Sungai Dua, Kabupaten Tanah Bumbu adalah warga lokal yang tinggal di daerah transmigrasi, supaya tidak berladang berpindah-pindah. Pada tahun 1992, ada sekitar 150 kepala keluarga yang tinggal di wilayah transmigrasi tersebut. Tim liputan melihat langsung aktivitas pengeboran untuk tambang batubara di kebun karet miliknya.
“Untuk batang karet saya yang kena di tempat pengeboran, saya minta diganti 200.000 satu batang. Kena 8 batang, jadi diganti 1.600.000. Tapi itu cuma saya, yang lain beda-beda harga. Diganti Rp 1.600.000 itu pun tidak sebanding. Dari mulai tanam sampai sekarang berapa tahun? Kalau mau nanam lagi, berapa tahun menunggu lagi untuk bisa dipanen. Nah, di situlah masyarakat mengeluh, karena tidak sesuai. Bukannya ganti untung, tapi ganti rugi,” ungkapnya.
Abah Yan mengatakan, dulu satu batang karet masyarakat hanya dihargakan Rp 20.000 per pohon. Sementara harga bibit berapa? Harga upuk berapa? Anggap waktu menunggu 12-13 tahun, jelas harga Rp 20.000 per pohon tidak sebanding. Walau pun diganti tidak sesuai dan sangat tidak pantas.
“Dulu memang ada lahan yang dirampas di Kompartemen D. Memang ada ganti rugi, tapi tidak pantas. Kalau pantas sih, tidak masalah. Terkait dengan tambang batubara jujur saja, apabila sekian harga, kalau tidak mau, ya sudah. Saya dengar di Kota Baru, banyak yang menangis karena tidak sesuai dengan pembayaran. Kita jujur saja, melawan tidak berdaya, aparat itu semua backingnya. Pemerintah Desa, Kecamatan, Bupati, tidak ada dayanya. Semua dimiliki dia, termasuk DPRD juga,” demikian Abah Yan.
Pihak terkait masih dalam upaya konfirmasi untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. (*)
Penulis : Tim Liputan
Editor : Romlan