BANGKA TENGAHHEADLINE

400 Tukit Dilepasliarkan di Pulau Ketawai

131
×

400 Tukit Dilepasliarkan di Pulau Ketawai

Sebarkan artikel ini

BANGKA TENGAH — Cuaca cukup cerah dan matahari mulai condong ke barat, saat kami bersiap untuk berangkat menuju Pulau Ketawai di Bangka Tengah, dalam rangka kegiatan pelepasliaran tukik (anak penyu yang baru menetas) di pulau yang dikenal sebagai salah satu objek wisata tersebut.

Sebelum berangkat, Direktur Direktorat Polairud Polda Kepulauan Bangka Belitung, Kombes Pol Agus Tri Waluyo memimpin do’a bersama. Selanjutnya dengan naik Rubber Boat jenis RIP, kami berangkat menuju Pulau Ketawai.

“Ini kegiatan yang luar biasa sekali. Kita menuju ke Pulau Ketawai untuk melepas tukik, anakan penyu, salah satu satwa yang dilindungi,” ungkap Agus Tri Waluyo sebelum turun ke Rubber Boat.

Dari Dermaga Sandar Direktorat Polairud Polda Kepulauan Bangka Belitung di Dusun Mudel, Desa Air Anyir, perjalanan ke Pulau Ketawai kami tempuh sekitar 40 menit. Ke luar dari mulut muara, ombak tidak terlalu besar. Setelah melewati Pulau Panjang dan Pan Semujur, dari kejauhan mulai nampak Pulau Ketawai dengan pasirnya yang putih bersih.

Ketika Rubber Boat menepi, kami mulai bersiap turun. Tidak ada dermaga sandar, sehingga kami harus melepas sepatu dan menggulung celana panjang yang kami pakai, agar tidak basah kena air laut.

Satu per satu perahu datang. Kami bertemu dengan Tim Alobi Foundation, petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan, petugas dari Balai Karantina Hewan, tim liputan Humas PT Timah Tbk, juga sejumlah jurnalis dari berbagai media massa.

“Ini yang dari Alobi dan BKSDA, ya? Dari PT Timah juga,” Agus Tri Waluyo menyapa rekan-rekan yang sudah tiba duluan.

Agus Tri Waluyo nampak tertearik mengetahui lebih banyak tentang penyu dan jenisnya. Dia terpantau ngobrol dan diskusi banyak tentang penyu dengan salah satu pegawai BKSDA Sumatera Selatan.

Agus Tri Waluyo mengungkapkan, tukit yang dilepasliar sore ini berjumlah sekitar 400 ekor, hasil penetasan 2287 butir telor penyu di Pantai Bio di Dusun Air Antu, Desa Deniang, yang dikelola oleh PT Timah. Penulis juga ikut meliput proses penempatan ribuan telur penyu itu ke dalam lubang-lubang penetasan yang dibuat di pasir Pantai Bio.

Sebelumnya pada bulan Juni lalu, anggota kita dari Subdit Gakkum yang sedang patroli mendapat informasi ada yang mengambil telor penyu tanpa izin di salah satu pulau. Petugas kemudian melakukan penangkapan terhadap tersangka J warga Kecamatan Lubuk Besar di pesisir pantai Tanjung Berikat. Saat itu 2287 butir telur penyu turut diamankan sebagai barang bukti.

“Kemudian kita kembangkan, sudah kita tangani, sekarang persiapan tahap II untuk disidang. Tersangka dikenakan Undang-Undang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati, dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun,” jelasnya.

Agus Tri Waluyo menuturkan, setelah penangkapan tersangka J, penyidik bekerja sama dengan BKSDA Sumatera Selatan, yang ternyata bekerja sama dengan PT Timah, terkait sararan pendukung untuk penetasan telur penyu tersebut. Setelah 54 hari dibenam dalam pasir di Pantai Bio, telur-telur penyu itu mulai menetas dan anakan tukik mulai keluar dari lubang sarangnya.

“Ini event yang sangat luar biasa, kita sama-sama melakukan pelepasliaran tukik di Pulau Ketawai ini,” kata dia.

Senada dikatakan Sabiliani Maretti, Kepala Urusan Pelayanan Evaluasi dan Pelaporan Fungsional Pengendalian Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan.

Menurutnya, 2287 butir telur penyu yang diamankan Polairud Polda Kepulauan Bangka Belitung tersebut ditetaskan secara alami di Pantai Bio. Dari 2287 butir telur penyu tersebut, yang menetas baru sekitar 400 butir atau 15 persennya.

“Jadi yang sudah menetas sekitar 400 ekor, itu yang hari ini kita lakukan kegiatan pelepasliaran di Pulau Ketawai hari ini,” ujarnya.

Sabiliani mengatakan, di Indonesia ada 6 jenis penyu yang dilindungi oleh undang-undang, termasuk dunia internasional, karena penyu bermanfaat untuk keseimbangan ekosistem di laut yang sangat penting. Penyu berfungsi untuk menyeimbangkan lamun dan rumput laut. Ada beberapa tempat yang penyu sudah punah, rumput lautnya juga akan punah.

“Itu artinya, akan terjadi ketidakseimbagan ekosistem yang menyebabkan satwa-satwa di laut juga akan punah, karena pakannya berupa rumput laut dan lamun juga punah,” tuturnya.

Masih kata Sabiliani, kemungkinan hidup penyu ini relatif sangat rendah, oleh karena itu statusnya terancam punah, khususnya penyu hijau. Banyaknya predator dan kondisi laut juga menjadi faktor penentu, karena laut saat ini tidak lagi seperti dahulu kala yang bebas polusi dan pencemaran.

“Persentasi hidupnya juga sangat rendah, karena kondisi laut kita juga tidak seperti dahulu kala. Dan predator terhadap tukik ini juga banyak,” tuturnya, seraya mengajak masyarakat untuk menjaga penyu dari ancaman kepunahan.

Sore harinya awan gelap dan hujan gerimis mulai turun di Pulau Ketawai. Sesaat setelah sesi foto berama, Agus Tri Waluyo bergegas mengajak kami naik ke Rubber Boat untuk kembali pulang. Sekira pukul 17.25 WIB, kami tiba dan langsung naik di Dermaga Sandar. (Romlan)