JAKARTA – Kontroversi sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih bergulir. Diantaranya, kemunculan 14 pasal yang dinilai oleh Dewan Pers sangat berpotensi mengancam kemerdekaan pers di tanah air.
Setelah dalam beberapa kesempatan, baik dilingkup internal pers maupun dalam kesempatan terbuka lainnya, Dewan Pers dan para penggiat pers sudah berulangkali mengungkapkan kegelisahan terhadap munculnya pasal-pasal berbahaya tersebut, sebagai sebuah ancaman nyata bagi kehidupan pers.
Tidak sekedar menyuarakan penolakan, Dewan Pers juga sudah mempersiapkan reformulasi 14 pasal yang dinilai bermasalah tersebut, dan mwnyampaikannya dalam bentuk daftar inventarisasi masalah kepada pihak-pihak terkait.
Safari reformulasi 14 pasal RKUHP ini kembali dilanjutkan oleh Dewan Pers pada Senin (15/8) sore tadi. Dewan Pers menemui Asrul Sani, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Gedung DPR, Jakarta. Arsul Sani sendiri merupakan satu-satunya wakil FPPP di Komisi III DPR RI.
Kedatangan rombongan anggota Dewan Pers yang terdiri dari Arif Zulkifli, Yadi Hendriana, dan Atmaji Sapto Anggoro ini bermaksud untuk menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah RKUHP dari Dewan Pers.
Dalam kesempatan itu, anggota Dewan Pers Arif Zulkifli kembali menegaskan, bahwa Dewan Pers sama sekali tidak menolak pembaharuan KUHP. “Kami mempersoalkan 14 pasal yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers. Reformulasi 14 pasal ini sudah kami diskusikan dengan konstituen Dewan Pers, jaksa, hakim, dan para pakar hukum,” ungkapnya.
Atmaji Sapto Anggoro menambahkan, Dewan Pers hanya menghendaki reformulasi RKUHP. Dia pun menilai, sudah semestinya KUHP diperbarui lantaran usianya sudah sangat tua.
Sedangkan Yadi Hendriana mengatakan, sampai saat ini sudah ada empat fraksi di Komisi III DPR yang menerima DIM 14 pasal RKUHP dari Dewan Pers. Masing-masing adalah: Fraksi Gerindra, FPDIP, FPKB, dan FPPP.
Dewan Pers juga berharap bisa dilibatkan dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III saat membahas RKUHP. Arsul yang juga anggota Panitia Kerja RKUHP akan berupaya agar Dewan Pers disertakan RDPU yang membahas RKUHP. Ia mengaku sudah berkomunikasi dengan fraksi lain dalam masalah ini.
Menanggapi reformulasi yang disampaikan Dewan Pers ini, Asrul sani mengaku sangat mengapresiasi setiap partisipasi, sumbang pemikiran, dan masukan yang dapat melengkapi RKUHP sehingga pada saat disyahkan menjadi KUHP nantinya, benar-benar menjadi sebuah konsesi beraama yang dapat menghadirkan esensi dari sebuah hukum itu sendiri, yaitu melindung hak setiap warga negara tanpa ada diskriminasi apapun.
“Kami berterima kasih atas masukan Dewan Pers terhadap RKUHP. Saya berpendapat, isu 14 pasal yang direformulasi oleh Dewan Pers ini wajib dibahas dalam rapat-rapat DPR nanti,” tutur Arsul.
Arsul berpendapat masukan dari Dewan Pers ini cukup lengkap lantaran bukan hanya berisi perspektif saja. Jika hanya perspektif, lanjutnya, persepsi anggota DPR bisa berbeda-beda.
“Ini sudah ada reformulasinya. Jadi nanti kita tidak membahas dari awal tapi berdasarkan masukan-masukan dari masyarakat. Tentu saja termasuk pembahasan atas 14 pasal yang dipersoalkan oleh insan pers. Masukan Dewan Pers ini juga membawa kepentingan masyarakat sipil,” kata Arsul yang juga merupakan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI.
Ia memcontohkan, adanya pasal tentang penghinaan terhadap presiden yang dapat dipersepsikan dan atau dipelintir oleh penegak hukum untuk mengekang kebebasan berpendapat atau berekspresi. Dia menilai pasal itu tetap perlu ada akan tetapi jangan sampai ibarat memberi cek kosong pada kepolisian untuk bertindak atau menangkap seseorang.
Seharusnya, urainya, perlu ada batasan atau kriteria tertentu tentang penghinaan presiden sehingga pers yang memberitakan tentang hal itu tidak termasuk kategori melakukan penghinaan tersebut.
Meski mengatakan reformulasi itu sudah lengkap, Arsul menilai akan lebih bagus lagi jika ada masukan besarnya hukuman bagi yang melanggar ketentuan jika KUHP nanti diberlakukan. Khusus untuk penghinaan terhadap presiden yang dilakukan oleh masyarakat, ia berpendapat, tuntutan hukumannya sebaiknya di bawah lima tahun.
Adapun masalah yang terkait pemberitaan, dia menyarankan agar sebaiknya diselesaikan melalui UU Pers dan mekanisme di Dewan Pers. (*)