Praktik pengiriman timah yang diduga tanpa izin marak terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kembali menjadi perhatian publik.
Aktivitas terlarang ini diduga melibatkan jaringan kuat, termasuk indikasi keterlibatan oknum berseragam tertentu yang memberikan perlindungan.
Meski sejumlah penangkapan dan proses hukum sudah sering dilakukan, banyak kasus berujung tanpa kejelasan dan yang menjadi tumbal justru sopir dan kernet truk pengangkut saja.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa praktik pengiriman timah masih terus berlangsung? Siapa sebenarnya aktor-aktor besar di balik layar?
Informasi yang diterima penulis, pengiriman timah yang diduga ilegal tak hanya terjadi di satu kabupaten saja, melainkan tersebar di berbagai wilayah di Bangka Belitung.
Di Pulau Belitung misalnya, penangkapan truk bermuatan timah telah berulang kali terjadi, namun upaya pengungkapan terhadap pemilik barang kerap berhenti di tengah jalan.
Kasus terbaru terjadi pada 26 Mei 2025, ketika 9 unit truk yang diduga membawa timah ilegal menyeberang dari Belitung ke Bangka.
Truk-truk itu tiba di Kawasan Industri Jelitik Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka pada malam hari.
Menurut informasi yang beredar, 7 dari 9 truk tersebut disebut mengangkut timah milik seorang pengusaha berinisial AH, yang dikenal berasal dari Kabupaten Bangka Barat.
Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang terkait kepemilikan truk pengangkut maupun asal-usul muatan timah tersebut.
Ironisnya, pola yang berulang dalam kasus-kasus ini menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih sering menyasar level bawah.
Setiap ada penangkapan yang diproses hukum dan ditahan hanya sopir dan kernet saja.
Sementara pemilik timah atau pengatur pengiriman tidak pernah diungkap ke publik dan pola seperti ini terus diulang.
Jika benar pengusaha berinisial AH masih bebas beroperasi, maka kuat dugaan ada sistem perlindungan yang membuatnya kebal dari jeratan hukum.
Sorotan tajam kini mengarah pada dugaan keterlibatan pihak berwenang atau oknum berseragam tertentu.
Minimnya proses hukum terhadap pemilik barang, serta lemahnya pengawasan terhadap pengiriman timah antar pula, memperkuat indikasi adanya bekingan kuat di balik penyelundupan ini.
Seolah-olah ada mata rantai yang dijaga dengan rapi. Penangkapan ada, tapi proses hukumnya seperti menguap. Tidak ada yang benar-benar dibongkar secara tuntas.
Jika dugaan ini benar, maka penindakan hukum hanya akan menjadi formalitas tanpa menyentuh akar persoalan.
Praktik pengiriman timah secara ilegal ini pun berpotensi akan terus berlangsung tanpa hambatan berarti.
Berbagai kalangan pun mendesak agar proses hukum dalam kasus pengiriman timah dilakukan secara terbuka dan menyeluruh.
Penegak hukum diminta membongkar seluruh jaringan, termasuk mereka yang berperan sebagai pelindung di balik layar.
Pengiriman timah tanpa izin ini bukan hanya merugikan negara dari sisi ekonomi, tapi juga merusak lingkungan dan memperparah ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Penegakan hukum seharusnya tidak tebang pilih dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Semua pihak yang terlibat, baik pemilik barang maupun oknum pelindung harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.
Penegakan supresmasi hukum dan penindakan tegas terhadap para pelaku pengiriman timah tanpa izin itu tidak hanya akan membangun citra positif, tapi juga akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pihak berwenang sebagai penegak hukum. (*)