HEADLINERAGAM

Kisah Warga Transmigarasi di Desa Mandiri

149
×

Kisah Warga Transmigarasi di Desa Mandiri

Sebarkan artikel ini
Rifki, Sekretaris Desa Tegal Rejo, Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan

KOTA BARU — Desa Tegal Rejo di Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan adalah Desa Transmigrasi yang mulai dihuni pada tahun 1982. Awalnya hanya dihuni 500 kepala keluarga, sampai saat ini pertumbuhan penduduk terus berkembang menjadi sekitar 1900 kepala keluarga.

“Perkembangannya menurut saya sangat cepat, karena Desa ini semakin ke sini semakin maju, masyarakatnya semakin mandiri. Mereka bisa kreatif menciptakan usaha atau lapangan kerja sendiri. Mayoritas sukunya dari Jawa, 90 persen lebih suku Jawa,” ungkap Sekretaris Desa Tegal Rejo Rifki di ruang kerjanya, Selasa (31/5).

Rifki menuturkan, untuk transmigrasi pertama mendapat 3 item. Pertama dapat tanah pekarangan seluas 2500 meter yang sudah dibangun rumah tempat tinggal, kedua lahan garapan 1 seluas 7500 meter, kemudian lahan kedua luasnya 10.000 meter, sehingga totalnya 2 hektare atau 20.000 meter persegi per kepala keluarga.

“Kita dapat predikat Desa Mandiri sekitar tahun 2020. Jadi tahun 2021 hingga 2022 ini kita jadi Desa Mandiri. Dapat predikat Desa Mandiri, karena Desa Tegal Rejo ini masyarakatnya dari segi ekonominya kuat, mereka punya keinginan untuk maju. Jadi mereka itu berusaha dengan kuat untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga tidak bergantung lagi pada orang lain atau pada bantuan pemerintah. Jadi mereka itu mandiri. Mayoritas petani sawit milik sendiri, lahan-lahannya milik pribadi,” tuturnya.

Sekitar tahun 2007 lalu, kata Rifki, sempat ada perusahaan tambang batubara yang mau masuk. Setelah berkoordinasi dengan masyarakat, dan masyarakat menerima perusahaan tambang itu masuk. Kemudian penambangan batubara pun dimulai, meski pun tidak lama. Masyarakat yang tidak mau daerah itu ditambang, akhirnya mereka memilih pindah.

“Kebetulan tambang itu di samping lahan saya juga, tapi lahan saya nggak kena. Nah, mereka menambang di situ. Tapi tidak lama koq, sekitar satu tahunan saja. Imbasnya setelah berjalan pertambangan itu, terjadilah kebakaran, habis itu stop. Masyarakat yang pindah itu kita tidak tahu ke mana? Cuma mereka kita suruh pindah, istilahnya mereka jangan di situ lagi lah,” kata dia.

Mbah Zuhri


Mbah Zuhri bertransmigrasi ke Kalimantan Selatan sejak tahun 1982. Kakek kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1932 itu mau pindah ke Tegal Rejo, karena kehidupan di Banyuwangi saat itu serba kekurangan, untuk kebutuhan makan saja susah, bahkan rumahnya sudah dijual semua. Waktu pindah ke Tegal Rejo, Mbah Zuhri mendapat lahan seluas 2 hektare.

“Rencana awalnya di Kalimantan Barat, tapi saya tidak diberangkatkan. Setelah itu ada kekurangan di sini, saya diambil dengan Pak Lurah, dipakai tambahnya orang Ponorogo, orang Dam 5,” ungkap pria sepuh itu, Selasa.

Setelah kebun sawitnya digusur paksa, sekarang pekerjaan Mbah Zuhri cuma memijat orang. Lahan yang yang tersisa cuma untuk rumah yang ditempatinya saat ini, yang lainnya sudah habis semua. Mbah Zuhri mengaku mencari tempat untuk anak cucunya setelah dia meninggal. Dia tidak akan menjual tanahnya.

Tiga perempat hektar lahan miliknya digarap orang dan tidak boleh diminta. Sementara lahan lainnya diambil paksa oleh perusahaan tambang batubara melalui menantu laki-lakinya, dan dia dikasih duit Rp 50 juta.

“Lahan saya itu sebenarnya laku Rp 150 juta. Saya ke sana sama RT, tanya ditukar berapa? Sama yang nukar disuruh minta 40, tahunya dikasih 20, jadi total 70 juta. Saya biarkan saja. Saya pikir masih enak saya dari yang ngakali saya,” cetusnya.

Mbah Sukradi


Mbah Sukradi, tetangga Mbah Zuhri, mengaku senang bisa bertransmigrasi ke Kalimatan Selatan pada tahun 1982. Karena di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur, dia tidak punya tanah, tidak ada apa-apa. Sukradi muda hanya seorang sanding alas atau buruh tani.

“Dari Tuban 20 kepala keluarga, diserahterimakan juga tanah dan rumah. Tanah itu ladang satu hektare, ladang kedua tiga perempat hektare, terus lokasi rumah ini seperempat hektare. Totalnya dua hektare,” ungkapnya.

Namun tiga perempat hektare lahan miliknya tidak bisa lagi digunakan untuk bercocok tanam, lantaran jadi tempat timbunan tanah buangan dari aktivitas tambang Batubara. Tidak ada ganti rugi. Tidak tahu siapa yang punya tambang, tidak tahu mau nuntut ke mana? Pamong Desa yang mengurusi itu sudah meninggal. Lahan milik Mbah Sukradi tidak ada pergantian.

“Saya tanami sawit 130 pohon, bibitnya dari pemerintah, kan masih ada bantuan? Nggak ada (ganti rugi) jadi dianggap hilang saja tanah itu. Orang 4 tidak bisa mengklaim, tidak ada pergantian. Walau pun distop dan orangnya ada di situ, tapi Eksavator jalan terus,” kisahnya.

Mbah Sukradi tidak tahu tanahnya ditimbun, tiba – tiba datang tanahnya sudah tinggi, yang mengerti adalah Pamong Desa saat itu. Tidak ada perlawanan atau penuntutan, karena percaya sama Pamong Desa.

“Katanya tidak ada (pergantian), tidak tahu juga, pasrah saja. Saya ikut ke lokasi, tapi sudah jadi tumpukan gitu,” ujarnya.

Mbah Sukradi sekarang menyambung hidup dari kuli atau tukang, sambil bertani. Kalau pas tidak ada kerjaan nukang dia bertani, seperti menanam sayur dan holtikultura lainnya.

“Anak-anak sudah berkeluarga, dan sudah mapan,” tukasnya. (*)


Penulis : Tim Liputan
Editor : Romlan